ANAK TIDONG


PENGENALAN

Assalamualaikum dan hai. (^_^)
Ok, di sini ak nak terangkan mengenai suku kaum tidung. Kaum ak sendiri (asli, mama bangsa tidung and papa pun sama bangsa tidung) ak bangga jadi anak tidung, papa tidung Kg Sg Manila batu12 mama pula tidung Beluran.
Ok, suku kaum Tidung ini adalah salah satu suku kaum rumpun Melayu yang banyak terdapat di bahagian tenggara Sabah iaitu sekitar daerah Tawau, Beluran, Sandakan Bt12 Sg Manila dan Sebatik.


Suku kaum Melayu Tidung mempunyai cabang-cabang iaitu seperti Apas, Tidung Indrasabah, Tidung Membalua, Tidung Kalumpang, Tidung Pasir Putih, Tidung Merotai, Tidung Kalabakan dan sebagainya. Namaun, walaupun ia ada cabang-cabang adat istiadat bgi suku kaum tidung ini tetap juga sama.

Selain itu, suku kaum Tidung juga boleh di dapati di beberapa tempat di Indonesia. Masyarakat suku kaum Tidung di Indonesia yang agak dikenali ialah Tidung Tarakan, Tidung Nunukan, Tidung Sembakung , Tidung Sesayap dan Tidung Malinau. Jika dilihat secara geografinya, masyarakat Tidung ini menduduki kawasan memanjang bermula di Beluran Sandakan hingga ke Tawau ( Apas , Merotai dan Kalabakan ), Sandakan.
Asalnya Tanah Tidung yang dimaksudkan adalah mencakupi kawasan dari daerah Beluran di Sandakan seterusnya di kawasan Batu Tinagat di sebelah timur Tawau ( bersama masyarakat Suluk ) hingga ke Apas dan ke sebelah barat Tawau di Merotai dan Kalabakan dan bersambung hingga ke Kalimantan timur termasuklah Nunukan, Tarakan, Tanjung Selor ( bersama masyarakat Bulungan ), Sesayap, Sembakung sehinggalah sejauh ke daerah pedalaman di Melinau. Namun setelah zaman penjajahan, Tanah Tidung ini terpisah oleh pembahagian kawasan dan pentadbiran yang dilakukan Inggeris dan Belanda yang kemudiannya merdeka menjadi dua buah negara yang berasingan iaitu Malaysia dan Indonesia.
( Nota : Masyarakat Tidung di Sabah ( khususnya di Kalabakan, Merotai, Sebatik, Apas dan juga Beluran ) adalah masyarakat peribumi ( natives ) dan kedudukan ini diwartakan dalam Perlembagaan Negeri Sabah serta dilengkapkan dengan bukti kesahihan di Pameran Galeri Masyarakat Peribumi Sabah di Muzium Negeri Sabah . Mereka adalah penduduk asal di Sabah yang mendiami persisiran pantai timur dan tenggara Sabah dan Kalimantan Timur ( Borneo ) bersama masyarakat Sungai, Idahan, Bajau dan Suluk )
( Walaupun terdapat masyarakat Tidung serumpun di sebelah sempadan Indonesia yang juga berada tanah besar yang sama ( Borneo ) namun masyarakat Tidung di Indonesia ( Tanjung Selor, Melinau, Tarakan dan Nunukan namun masyarakat Tidung serumpun di Indonesia tidak suka berhijrah kerana mereka lebih selesa di kampung halaman dan di tanah kelahiran sendiri yang juga turut berkembang maju taraf ekonominya sama seperti di Malaysia. Seperti juga masyarakat Tidung yang terpisah kerana sempadan negara, masyarakat Brunei Malaysia di Papar, Kawang dan Bongawan juga terpisah dengan masyarakat Brunei serumpun di negara Brunei Darussalam. )
( Masyarakat Suluk di tanah besar Sabah ( Borneo ) juga dipisahkan dengan masyarakat Tausuq di Filipina ( Kepulauan Sulu, Tawi-Tawi dan Basilan ) oleh sempadan negara walaupun jaraknya yang sangat dekat. Ini membuktikan masyarakatTidung , masyarakat Brunei dan masyarakat Suluk di Sabah adalah masyarakat peribumi ( natives ) walaupun masyarakat ini terdapat di negara jiran kerana mereka semua berada di tanah yang sama namun dipisahkan oleh sempadan negara yang ditentukan ketika mencapai kemerdekaan daripada penjajah.

ADAT ISTIADAT


Ok, skrang ni ak mahu certi pasal adat bangsa suku kaaum tidung pula.. boleh baa kan ??
Adat perkhwinan bagi suku kaum tidung ni dia macam lain sikit bilang sb bagi bakal pengantin ia tidak di benarkan keluar rumah selama beberapa pula malahan ia akan di jaga oleh 7 orang gadis dan gadis-gadis tersebut harus melayani bakal pengantin tersebut seperti puteri dan juga gadis tersebut harus menjaga dan juga menyediakan makan minum bakal pengantin tersebut.
Seterusnya, bakal pengantin akan di gunakan pupur di seluuh badannya dan apabila perkahwinan hampir tiba bakal pengantin akan sering di mandikan air bunga. Bukn shja, bakal pengantin perempuan akn digunakan pupur malahan bakal pengantin lelaki pun trut sama menggunakan pupur dan bakal pengantin lelaki juga akan mandi air bunga.
Tiba hari yang di nanti-nanti kan, apabila pengantin lelaki tiba di rumah pengantin perempuan. Sebelum pengantin lelaki melangkah masuk ke dalam rumah pengantin perempuan pengantin lelaki akan di tabu beras kuning dan pengantin lelaki juga di sedikan kapret yang berwana KUNING.
          Oke tu ja yang dapat ak terangakan mengenai adat perkahwinan suku kaum tidung.


TARIAN TRADISIONAL



                                         


                                           

LAGU TRADISIONAL





PANTANG LARANG


Oke, di sini ak mahu cerita mengenai pantang larang bagi suku kaum tidung ia hampir sama juga dengan pantang larang suku kaum lain tetapi ada beza sekit sahaja. Antara PANTANG LARANG ialah :

Gadis tidak dibenarkan menyanyi di dapur :
- Nanti terkahwin dengan orang tua
Kalau ingin berjalan jauh dilarang patah balik
-Nanti mendapat malapetaka
Perlu memberi salam bila datang ketempat baru
-Kalau tidak dikuatiri akan keteguran (di sampuk hantu)
Dilarang berjalan dibawah jemuran (tempat menyidai pakaian)
-Nanti mendapat sakit yang luar biasa
Kanak-Kanak dilarang bermain pada waktu senja
-Nanti keteguran (disampuk barang halus)

CERITA DONGENG


Hikayat Naga Dalam Cerita Lisan Orang Tidung dan Bulungan


(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung)

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Naga di Kalimantan, tentu saja Naga yang dimaksud bukan seperti dalam penggambaran budaya timur khususnya dalam budaya Tionghoa, Naga dikalimantan lebih digambarkan sebagai ular raksasa terkadang dengan hiasan dikepala tanpa kaki dan tentu saja tanpa misai.
Kisah mengenai Naga di Kalimantan rupanya juga sempat membuat kepicut sutradara Hollywood dengan menampilkan ular besar Kalimantan dalam filmnya “Anacondas the Hunt For the Blood Orchid”, setidaknya seperti itulah spirit yang diangkat dalam film tersebut. Kita pun pernah dikejutkan dengan beredarnya foto-foto mengenai ular besar di kalimantan, walaupun beberapa darinya dianggap Hoax alias tak nyata
Namun demikian, kisah ular-ular besar itu bukan tak pernah ada, sebuah fosil yang ditemukan di kawasan hutan hujan Kolumbia -yang penggambaran wilayahnya kurang lebih sama dengan hutan hujan kalimantan- memunculkan dugaan kuat bahwa hewan yang menjadi legenda itu memang pernah ada.
Titanoboa Cerrejonensis, begitulah para ilmuan menyebutnya, tak main-main Panjangnya mencapai 12,8 hingga hampir 14 meter, dan berbobot 1,25 ton. Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global.

Menurut para ahli baik dari American Museum of Natural History di New York dan University of Toronto Missisauga, monster melata itu di masa lalu mungkin saja melahap dan mengunyah buaya di hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60 juta tahun lalu.

(Titanoboa, ular raksasa yang menjadi legenda)

Lalu bagaimana cerita mengenai kisah ular-ular raksasa itu dalam hikayat lisan yang ada dimasyarakat Kalimantan, khususnya dalam masyarakat Tidung dan Bulungan? Saya mencoba untuk menelusuri cerita-cerita lisan yang berkisah mengenai hewan legendaris bahkan dianggap mahluk mitologi itu.
Hikayat Naga Dalam Lindungan Kabut.
Naga hidup dalam alam pikiran dan kisah-kisah lama yang tak lengkang dipukul waktu, namun kisah itu layaknya kabut tebal yang terkadang memang tak mampu dijangkau oleh logika kita.
Sejak kecil saya sudah sering mendengar kisah-kisah penampakan mahluk legendaris itu, cerita-cerita mengenai keberadaan mereka tak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Semakin jauh mereka dari manusia semakin kental keberadaan mereka baik dalam alam pikiran maupun masuk dalam relung-relung budaya.
Naga dalam cerita lisan pada masyarakat Tidung dan Bulungan bervariasi bentuknya, sebagian masyarakat ada yang percaya mereka merupakan mahluk supranatural yang mampu berkomunikasi dengan manusia-manusia yang memiliki kemampuan khusus tertentu. Bahkan ada pula sebagian yang percaya mereka dapat berubah bentuk menyerupai manusia di alam mereka, tentu jika tingkatan ilmunya sudah pada tahap sempurna.

Naga-Naga ini digambarkan hidup tak jauh dari sungai, konon ada yang bercerita bahwa pernah ada seekor Naga menjadi penunggu didasar sungai Buaya, maklum waktu itu kawasan sungai Buaya tak seramai sekarang, mereka yang matanya “Tembus”, -istilah masyarakat tempatan pada orang yang mampu berkomunikasi dan melihat wujud mahluk halus-, mengatakan bahwa mata sang Naga, lebarnya kurang lebih sebesar piring makan, saking besarnya si penunggu sungai tersebut. Cerita lain menyebutkan bila terjadi hujan di kawasan hulu, namun kawasan Tanjung selor dan sekitarnya baru banjir sekitar tiga hari kemudian, itu pertanda bahwa Naga-Naga yang tak kasat mata itu menahan arus air selama tiga hari tiga malam.

(Titanoboa salah satu ular terbesar yang pernah hidup di bumi)

Namun ada pula kisah lain yang menceritakan dan percaya bahwa Ular Naga itu memang pernah ada, mereka bukan sekedar mahluk supranatural, tapi berawal dari seekor ular, -khususnya sejenis ular Tedung, Sawa, Phiton atau Boa-, yang konon bertapa untuk mendapatkan mestika yang tumbuh disekitar kepala mereka, hewan-hewan ini bertapa atau tidur untuk membesarkan badannya, melahap apa yang ada disekitar mereka atau yang lewat dihadapan mereka. Dikisahkan pula tak jarang mereka melilitkan tubuhnya pada sebatang pohon yang besar dan rimbun di dalam hutan untuk bertapa. Untuk menjadi seekor Naga tidak hanya harus membesarkan badan, namun juga harus mampu bertahan hidup menghadapai ujian akhir, yaitu menangkap batu petir, yaitu sebuah batu yang dipercaya muncul saat petir menyambar pepohonan besar didalam hutan, jika tubuhnya kuat, ia akan hidup namun sebaliknya, hikayat Naga itu hanya sampai disitu.
Dalam budaya Tidung khususnya, Naga digambarkan cukup kental merembes dalam budaya mereka, gambaran itu dimanifestasi dalam bentuk seni ukir. Menariknya setidaknya Naga digambarkan dalam dua bentuk, bentuk pertama dua ekor Naga yang kepalanya berpaling, dalam bentuk ini gambaran mengenai Naga tersebut lebih berbentuk simbolik dengan sisik-sisiknya, sedangkan bentuk kedua yaitu dua buah Naga yang saling berhadapan memperlihatkan wujud Naga berupa ular besar yang saling bersentuhan.
Dimasa lampau, pelaut-pelaut Tidung, konon mengukir Naga pada lambung-lambung kapal mereka, terkadang diukir penuh dari kepala hingga ekor, sebagai bentuk kebersamaan mereka dengan mahluk legendaris itu tapi juga dimaksud untuk menolak maksud-maksud jahat dari mahluk lainnya dilautan.
Naga Dalam kisah Lama Para Penebang Kayu.
Setidaknya kisah-kisah penampakan mahluk legendaris terdengar di medio tahun 1970 hingga 1980-an, cerita mengenai keberadaan nyata mereka didengungkan oleh sebagian kecil para penebang kayu. Maklum saja itu masa-masa awal penebangan kayu dan pembukaan hutan oleh perusahaan. Kisah mengenai ular-ular besar dihutan-hutan Bulungan memang kerap saya dengar semasa kecil dulu, khususnya dari kakek saya, almarhum Djamaloeddin Bin Haroen.

Kakek dimasa itu sempat bekerja menjadi sopir damtruk yang mengangkut pekerja atau tim survai lapangan di perusahaan kayu, -sebelum pindah dari BPM (Batafche Petroleum Mastchapic) di Tarakan-, khususnya yang beroperasi disekitar hutan diantara kawasan Bulungan dan Tanah Tidung, kakek bercerita bahwa hutan-hutan itu memiliki nuansa mistik yang kental, bukan hanya penuh dengan mahluk-mahluk aneh tapi juga kisah-kisah seram termasuk mengenai keberadaan ular-ular yang memiliki ukuran yang besar.


(Gambar seekor Naga atau Nabau dalam sebutan masyarakat Sungai Kajang di daerah Serawak, legenda mengenai keberadaan mahluk seperti ini juga ada dalam cerita-cerita lisan masyarakat khususnya dikalangan orang Tidung dan Bulungan).

Kisah-kisah mengenai ular-ular besar itu umumnya dianggap tabu untuk dikisahkan secara terbuka, khususnya para penebang kayu seangkatan kakek yang pernah mengalami kejadian bertemu dengan mahluk tersebut. Para penebang memiliki perasaan yang sungkan untuk mengisahkan keberadaan Naga-Naga tersebut karena mereka percaya mahluk itu dapat merasakannya, ular-ular besar itu dipercaya membalasnya dengan menyergap para penebang dengan bersembunyi dibalik kerimbunan hutan maupun pinggir kawasan sungai dalam.
Banyak dari mereka tidak ingin berurusan dengan mahluk tersebut, kakek bahkan tidak menyebut nama “ular” namun menggunakan perumpamaan seperti istilah “benda itu” atau “barang itu” bahkan kadang menyebutnya dengan istilah “akar atau pendeng”, sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa sungkan terhadap keberadaan mahluk tersebut.
Dalam kehidupan sebagian kecil orang di Bulungan memang ada yang tabu menyebut nama hewan-hewan tertentu dengan nama aslinya, mereka senang menyebutnya dengan perumpamaan seperti istilah “akar atau pendeng” untuk ular, “putri” untuk sebutan tikus dan “nenek atau datuk” untuk menyebut buaya.
Umumnya ada kepercayaan lama dikalangan orang-orang Bulungan tentang tanda-tanda alam, bila bertemu dengan seekor ular saat melakukan perjalanan, disarankan untuk mengubah haluan karena dianggap membawa hal yang kurang baik, para penebang kayu dimasa itu memiliki kepercayaan biasanya orang-orang yang kepuhunanlah yang bisa bertemu dengan mahluk tersebut, tentu saja bertemuan seperti itu bukan pertanda yang bagus.
Beberapa kisah penampakan mengenai keberadaan ular Naga tersebut menjadi kisah tersendiri dikalangan mereka yang sebenarnya enggan untuk dikisahkan, misalnya tentang sebatang pohon tumbang yang berukuran sangat besar secara tak sengaja diduduki oleh salah seorang penebang, bentuknya seperti batang kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi lumut, iseng-iseng salah seorang dari mereka menancapkan parang, mereka terkejut bukan buatan karena dari batang kayu tua berlumut itu, tersembur darah segar, tak banyak pikir para penebang lari pontang-panting dibuatnya.

Kakek pernah bercerita saat ia dan para penebang kayu melintas jalan hutan atau jalan loging, butuh waktu cukup lama untuk memberi jalan seekor ular besar yang sedang melintas, keadaannya jadi serba salah, walaupun truk yang mereka gunakan cukup besar, namun tidak akan cukup kuat untuk mengusik seekor ular dengan tubuh dua atau tiga kali dari ukuran normalnya, kalau sudah begini lebih baik biarkan saja benda itu lewat. Menurut kakek nasib mereka cukup mujur kala itu sebab mereka tidak berpapasan langsung dengan kepala ular besar tersebut.
(Bentuk Ukiran lain tentang naga yang secara simbolik digambarkan pada sisik-sisiknya)
Kisah lain yang juga menarik adalah, pada suatu hari tim survai lapangan sedang melakukan pemetaan dan pengukuran kawasan hutan yang akan di tebang, mereka menemukan sebatang pokok kayu aneh yang berdiri, disekitar pokok tersebut ada kayu-kayu yang bertumbangan, bau yang kurang nyaman terasa dibawa angin, kebetulan tak jauh di depan terdapat semacam gundukan yang menyerupai sebuah bukit kecil, beberapa orang sempat naik keatas gundukan bukit yang nampaknya ditumbuhi lumut itu, namun setelah diamati dengan baik, rupanya seekor ular Sawa berbadan besar sedang bertapa, mau tak mau survai lapangan hari itu langsung dihentikan, dari kejauhan terlihat batang pohon tersebut bergoyang seperti dihisap angin, nampaknya ia hidup dengan cara menghisap apa dan siapa saja yang lewat dihadapannya. Konon begitu pohon tunggal itu mampu tercabut dari tempatnya, itu artinya sang Naga telah siap untuk turun ke Sungai.
Banyak kisah-kisah tak lazim mengenai Sang Naga yang hanya diketahui sebagian orang, Selain itu penampakan yang tak banyak tersebut makin menambah mitos dan legenda yang menyelubunginya.

Terpulang lagi bagaimana cara kita menanggapi cerita-cerita lisan yang beredar dimasyarakat kita mengenai hikayat Sang Naga. Apapun itu tulisan ini hanya dimaksud untuk menambah penghargaan kita terhadap alam disekitar, bahwa dihutan yang lebat itu, tersimpan banyak rahasia-rahasia alam yang patut kita jaga dan kita hargai, sekaligus memotret pandangan masyarakat setempat mengenai hikayat Sang Naga yang bersembunyi diantara kabut tebal mitos dan legenda.


BAHASA TIDUNG KE MELAYU (KAMUS TIDUNG)


Kata ganti orang:

Saya, aku = 'Dako'
Kau = 'Dudu'
Dia = 'Siye'
Kita = 'Taka'
Kami = 'Dame'
Kamu, engkau = 'Muyu'

mereka = 'ile'

Kategori Warna:

Merah = Lia
Putih = Pulag
Hijau = Ijou
Kuning = Silow
Pink = Kesumbo
Hitam = Itom
Orange = Jingga

Kategori Bagian Tubuh:

Kepala = Utog
Rambut = Abuk
Telinga = Telingo
Hidung = Adung
Pipi =Pelingas
Mulut = Kabang
Leher = Liog
Perut = Tinay
Tangan = Tendulu
Kaki = Tanog
kuku = Sandop
Paha = Apa
Lutut = Atut
Pinggang = Awak
Dada = Kubab
Mata = Mato
kuku = sandep
kulit = Kulit
daging = Daging
darah = dada
lemak = lamektumit tumbit
dahi = abas
gigi = ipon
lidah = jila
susu = titi
bahu = likip
jenggot = jangkut
pantat = alu
Ubun-ubun = taub
kelingking = tengkikis
cambang = sambang
tunjuk = telunjuk
telapak tangan = telapak tendulu
hati = lengkayau
ulu hati = pusu
Jari tangan = Lenggagai tendulu
Kuku tangan = Lenggagai sandop
empedu = limpadu
tengkuk = ipus
pusat = pusod
Wajah/muka = Malo

Kekerabatan
Berikut adalah Kata-kata Bahasa Tidung dalam kategori "kekerabatan":

Ayah = Yama
Ibu = Ina
Nenek = Yadu
Kakek = Yaki
Paman = Yujang
Tante = Keminan
Adik = Yadi
Kakak = Yaka
Keponakan = Yakon, Menakon
Cucu = Ingkupu
Saudara = Pensulod
Nenek Moyang = Yadu yaki
Ipar = Yangu
Menantu = Anak Iwan
Mertua = Iwan
Sepupu sekali = Tegande
Sepupu dua kali = Telenduo
Sepupu tiga kali - Telentalu
Iparnya Saudara = Iras
Istri = Yandu
Suami = Delaki
Keluarga = Bubuan



MAKANAN TRADISIONAL





BAJU TRADISIONAL




*       Na, cantikkan baju tradisional suku kamu  aku ini. Semestinya suku kaum tidung....
     Bangga ba aku jadi bangsa tidung... (^_^)






JENIS RUMAH SUKU KAUM TIDUNG


Suku Tidung adalah suku yang mendiami wilayah utara Kalimantan Utara yang tersebar di Bulungan, Tarakan, Malinau, Berau, Nunukan, Tana Tidung sampai Sabah di Malaysia. Suku ini semuanya memeluk Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga dikategorikan sebagai rumpun asli Melayu, walau kemungkinan terdapat perkerabatan dengan suku Dayak Murut yang ada di Sabah. Bahkan Kerajaan Tidung sendiri sudah ada sejak tahun 1076 Masehi dan berkedudukan di Tarakan, Kalimantan Utara.
Seperti kerjaan lainnya di Indonesia, suku Tidung mempunyai arsitektur bangunan yang khas yang mencerminkan kehidupan keseharian suku Tidung. Rumah adat suku Tidung disebut dengan Baloy Adat Tidoeng. Baloy Adat ini terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang banyak ditemukan di daerah Kalimantan. Bangunannya berbentuk rumah panggung dengan ukiran yangmempunyai kemiripan dengan seni ukir suku Dayak. Di pesisir bagian Kalimantan bentuk rumah panggung lazim ditemukan, karena biasa didirikan di dekat pantai atau daerah rawa. Suku Tidung sendiri termasuk suku yang berbudaya bahari sehingga tak heran jika terdapat perahu di rumah-rumah Tidung untuk alat transportasi.
Baloy Adat Tidoeng sendiri letak sekitar 1 kilometer dari Bandar Udara Djuwata Tarakan. Tak adanya penunjuk arah menuju Baloy Adat ini menyulitkan wisatawan yang ingin berwisata ke Baloy, sebab letaknya sendiri menuju arah luar kota Tarakan.


Tampak dari depan rumah utama Baloy Adat Tidoeng. Terdiir empat ruang utama dalam rumah ini, yaitu Alad Kait tempat menerima masyarakat yang mempunyai masalah adat, Lamin Bantong tempat pemuka adat bersidang untuk memutuskan perkara adat, Ulad Kemagod berfungsi sebagai ruang berdamai setelah selesainya perkara adat, dan Lamin Dalom sebagai tempat singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.


Baloy Adat Tidoeng atau Baloy Mayo Djamaloel Qiram mulai dibangun tahun 2004 silam di lahan seluas 2,5 hektar dan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan Suku Tidung sekaligus sebagai tempat tujuan wisata rekreasi .


Disebalah bangunan utama terdapat bangunan lebih kecil yang berdiri berjajar. Bangunan ini merupakan rumah yang didirikan untuk sanak famili. Suku Tidung merupakan suku yang mempunyai sistem kekerabatan yang sangat rapat dan terjaga.

Sedangkan di depan kompleks bangunan Baloy Adat Tidoeng terdapat bangunan kecil berbentuk rumah dengan dinding yang berwarna kuning, serta warna khas suku Tidung. Bangunan ini difungsikan sebagai tempat berkomunikasi dengan leluhur Suku Tidung.


Bagian belakang kompleks rumah Baloy Adat Tidoeng terdiri dari Lubung Kilong adalah tempat menampilkan kesenian suku Tidung pada saat acara tertentu , serta Lubung Intamu yaitu tempat pertemuan masyarakat adat yang lebih besar, seperti pelantikan pemangku adat atau musyawarah adat









(^_^)  nebais kan bayai-bayai tidung.. heeh berTIDUNG dulu ba kan.. aik, rindu sudah dengan mam dan pap lama nda balik beluran maklumlha belajarkan berkorbanlah dulu bilang .. bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudiannn.. ea bukann (^_^)



-SELESAI-


SA BANGGA JADI ANAK TIDUNG...



sekian dan terima kasih..

_Norhamidah Sabran_




7 comments:

  1. Kenapa Tidung Indonesia menyebut diri sebagai orang Dayak. Dan Tidung Malaysia menyebut diri sebagai Melayu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. di Indonesia, tidung adalah dayak berdasarkan linguistiknya. di Malaysia, tidung adalah melayu berdasarkan agamanya islam. dalam UU negara malaysia, setiap orang muslim pribumi malaysia, adalah melayu, atau bagian dari melayu, termasuk jawa dan bugis. terima kasih

      Delete
  2. Saya pun bangga menjadi anak tidung 😉

    ReplyDelete
  3. Saya bangga jadi anak dayak tidong..
    Salam penculod ngengai.. Si ago no? Bais ki? Jgn hilang kn nama dayak taka.. Sebab itu identiti taka de dalom tanah borneo ni..

    ReplyDelete
  4. Tidung sandakan ada? contact saya balik boleh? saya cari ayah saya. tidung sandakan dan tinngal di sandakan. Nombor saya 01151482182

    ReplyDelete
  5. adakah siapa2 tahu baju pengantin bangsa tidung untuk disewa?

    ReplyDelete