PENGENALAN
Assalamualaikum dan
hai. (^_^)
Ok, di sini ak nak
terangkan mengenai suku kaum tidung. Kaum ak sendiri (asli, mama bangsa tidung
and papa pun sama bangsa tidung) ak bangga jadi anak tidung, papa tidung Kg Sg
Manila batu12 mama pula tidung Beluran.
Ok, suku kaum Tidung
ini adalah salah satu suku kaum rumpun Melayu yang banyak terdapat di bahagian
tenggara Sabah iaitu sekitar daerah Tawau, Beluran, Sandakan Bt12 Sg Manila dan
Sebatik.
Suku kaum Melayu
Tidung mempunyai cabang-cabang iaitu seperti Apas, Tidung Indrasabah, Tidung
Membalua, Tidung Kalumpang, Tidung Pasir Putih, Tidung Merotai, Tidung
Kalabakan dan sebagainya. Namaun, walaupun ia ada cabang-cabang adat istiadat
bgi suku kaum tidung ini tetap juga sama.
Selain itu, suku kaum
Tidung juga boleh di dapati di beberapa tempat di Indonesia. Masyarakat suku
kaum Tidung di Indonesia yang agak dikenali ialah Tidung Tarakan, Tidung
Nunukan, Tidung Sembakung , Tidung Sesayap dan Tidung Malinau. Jika dilihat
secara geografinya, masyarakat Tidung ini menduduki kawasan memanjang bermula
di Beluran Sandakan hingga ke Tawau ( Apas , Merotai dan Kalabakan ), Sandakan.
Asalnya Tanah Tidung
yang dimaksudkan adalah mencakupi kawasan dari daerah Beluran di Sandakan
seterusnya di kawasan Batu Tinagat di sebelah timur Tawau ( bersama masyarakat
Suluk ) hingga ke Apas dan ke sebelah barat Tawau di Merotai dan Kalabakan dan
bersambung hingga ke Kalimantan timur termasuklah Nunukan, Tarakan, Tanjung
Selor ( bersama masyarakat Bulungan ), Sesayap, Sembakung sehinggalah sejauh ke
daerah pedalaman di Melinau. Namun setelah zaman penjajahan, Tanah Tidung ini
terpisah oleh pembahagian kawasan dan pentadbiran yang dilakukan Inggeris dan
Belanda yang kemudiannya merdeka menjadi dua buah negara yang berasingan iaitu
Malaysia dan Indonesia.
(Nota : Masyarakat
Tidung di Sabah ( khususnya di Kalabakan, Merotai, Sebatik, Apas dan juga
Beluran ) adalah masyarakat peribumi ( natives ) dan kedudukan ini diwartakan
dalam Perlembagaan Negeri Sabah serta dilengkapkan dengan bukti kesahihan di
Pameran Galeri Masyarakat Peribumi Sabah di Muzium Negeri Sabah . Mereka adalah
penduduk asal di Sabah yang mendiami persisiran pantai timur dan tenggara Sabah
dan Kalimantan Timur ( Borneo ) bersama masyarakat Sungai, Idahan, Bajau dan
Suluk )
(Walaupun terdapat
masyarakat Tidung serumpun di sebelah sempadan Indonesia yang juga berada tanah
besar yang sama ( Borneo ) namun masyarakat Tidung di Indonesia ( Tanjung
Selor, Melinau, Tarakan dan Nunukan namun masyarakat Tidung serumpun di
Indonesia tidak suka berhijrah kerana mereka lebih selesa di kampung halaman
dan di tanah kelahiran sendiri yang juga turut berkembang maju taraf ekonominya
sama seperti di Malaysia. Seperti juga masyarakat Tidung yang terpisah kerana
sempadan negara, masyarakat Brunei Malaysia di Papar, Kawang dan Bongawan juga
terpisah dengan masyarakat Brunei serumpun di negara Brunei Darussalam. )
(Masyarakat Suluk di
tanah besar Sabah ( Borneo ) juga dipisahkan dengan masyarakat Tausuq di
Filipina ( Kepulauan Sulu, Tawi-Tawi dan Basilan ) oleh sempadan negara
walaupun jaraknya yang sangat dekat. Ini membuktikan masyarakatTidung ,
masyarakat Brunei dan masyarakat Suluk di Sabah adalah masyarakat peribumi (
natives ) walaupun masyarakat ini terdapat di negara jiran kerana mereka semua
berada di tanah yang sama namun dipisahkan oleh sempadan negara yang ditentukan
ketika mencapai kemerdekaan daripada penjajah.
ADAT ISTIADAT
Ok,
skrang ni ak mahu certi pasal adat bangsa suku kaaum tidung pula.. boleh baa
kan ??
Adat perkhwinan bagi suku kaum tidung ni
dia macam lain sikit bilang sb bagi bakal pengantin ia tidak di benarkan keluar
rumah selama beberapa pula malahan ia akan di jaga oleh 7 orang gadis dan
gadis-gadis tersebut harus melayani bakal pengantin tersebut seperti puteri dan
juga gadis tersebut harus menjaga dan juga menyediakan makan minum bakal
pengantin tersebut.
Seterusnya, bakal pengantin akan di
gunakan pupur di seluuh badannya dan apabila perkahwinan hampir tiba bakal
pengantin akan sering di mandikan air bunga. Bukn shja, bakal pengantin
perempuan akn digunakan pupur malahan bakal pengantin lelaki pun trut sama
menggunakan pupur dan bakal pengantin lelaki juga akan mandi air bunga.
Tiba hari yang di nanti-nanti kan, apabila
pengantin lelaki tiba di rumah pengantin perempuan. Sebelum pengantin lelaki
melangkah masuk ke dalam rumah pengantin perempuan pengantin lelaki akan di
tabu beras kuning dan pengantin lelaki juga di sedikan kapret yang berwana
KUNING.
Oke tu ja yang dapat ak terangakan
mengenai adat perkahwinan suku kaum tidung.
PANTANG LARANG
Oke,
di sini ak mahu cerita mengenai pantang larang bagi suku kaum tidung ia hampir
sama juga dengan pantang larang suku kaum lain tetapi ada beza sekit sahaja.
Antara PANTANG LARANG ialah :
-
Gadis tidak dibenarkan menyanyi di dapur nanti terkahwin dengan orang tua
-
Kalau ingin berjalan jauh dilarang patah balik nanti mendapat malapetaka
-
Perlu memberi salam bila datang ketempat baru kalau tidak dikuatiri akan
keteguran (di sampuk hantu)
-
Dilarang berjalan dibawah jemuran (tempat menyidai pakaian) nanti mendapat
sakit yang luar biasa Kanak-Kanak dilarang bermain pada waktu senja nanti
keteguran (disampuk barang halus)
CERITA DONGENG
Hikayat Naga Dalam Cerita
Lisan Orang Tidung dan Bulungan
(Sepasang
Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung)
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca
sebuah situs mengenai Naga di Kalimantan, tentu saja Naga yang dimaksud bukan
seperti dalam penggambaran budaya timur khususnya dalam budaya Tionghoa, Naga
dikalimantan lebih digambarkan sebagai ular raksasa terkadang dengan hiasan
dikepala tanpa kaki dan tentu saja tanpa misai.
Kisah mengenai Naga di Kalimantan rupanya
juga sempat membuat kepicut sutradara Hollywood dengan menampilkan ular besar
Kalimantan dalam filmnya “Anacondas the Hunt For the Blood Orchid”, setidaknya
seperti itulah spirit yang diangkat dalam film tersebut. Kita pun pernah
dikejutkan dengan beredarnya foto-foto mengenai ular besar di kalimantan,
walaupun beberapa darinya dianggap Hoax alias tak nyata
Namun demikian, kisah ular-ular besar itu
bukan tak pernah ada, sebuah fosil yang ditemukan di kawasan hutan hujan
Kolumbia -yang penggambaran wilayahnya kurang lebih sama dengan hutan hujan
kalimantan- memunculkan dugaan kuat bahwa hewan yang menjadi legenda itu memang
pernah ada.
Titanoboa Cerrejonensis, begitulah para
ilmuan menyebutnya, tak main-main Panjangnya mencapai 12,8 hingga hampir 14
meter, dan berbobot 1,25 ton. Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi
petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa
titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis
khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global.
Menurut para ahli baik dari American
Museum of Natural History di New York dan University of Toronto Missisauga,
monster melata itu di masa lalu mungkin saja melahap dan mengunyah buaya di
hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60
juta tahun lalu.
(Titanoboa, ular raksasa yang menjadi legenda)
Lalu bagaimana cerita mengenai kisah
ular-ular raksasa itu dalam hikayat lisan yang ada dimasyarakat Kalimantan,
khususnya dalam masyarakat Tidung dan Bulungan? Saya mencoba untuk menelusuri
cerita-cerita lisan yang berkisah mengenai hewan legendaris bahkan dianggap
mahluk mitologi itu.
Hikayat Naga Dalam Lindungan Kabut.Naga
hidup dalam alam pikiran dan kisah-kisah lama yang tak lengkang dipukul waktu,
namun kisah itu layaknya kabut tebal yang terkadang memang tak mampu dijangkau
oleh logika kita.
Sejak kecil saya sudah sering mendengar
kisah-kisah penampakan mahluk legendaris itu, cerita-cerita mengenai keberadaan
mereka tak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Semakin jauh mereka dari manusia
semakin kental keberadaan mereka baik dalam alam pikiran maupun masuk dalam
relung-relung budaya.
Naga dalam cerita lisan pada masyarakat
Tidung dan Bulungan bervariasi bentuknya, sebagian masyarakat ada yang percaya
mereka merupakan mahluk supranatural yang mampu berkomunikasi dengan
manusia-manusia yang memiliki kemampuan khusus tertentu. Bahkan ada pula
sebagian yang percaya mereka dapat berubah bentuk menyerupai manusia di alam
mereka, tentu jika tingkatan ilmunya sudah pada tahap sempurna.
Naga-Naga ini digambarkan hidup tak jauh
dari sungai, konon ada yang bercerita bahwa pernah ada seekor Naga menjadi
penunggu didasar sungai Buaya, maklum waktu itu kawasan sungai Buaya tak
seramai sekarang, mereka yang matanya “Tembus”, -istilah masyarakat tempatan
pada orang yang mampu berkomunikasi dan melihat wujud mahluk halus-, mengatakan
bahwa mata sang Naga, lebarnya kurang lebih sebesar piring makan, saking
besarnya si penunggu sungai tersebut. Cerita lain menyebutkan bila terjadi
hujan di kawasan hulu, namun kawasan Tanjung selor dan sekitarnya baru banjir
sekitar tiga hari kemudian, itu pertanda bahwa Naga-Naga yang tak kasat mata
itu menahan arus air selama tiga hari tiga malam.
Namun ada pula kisah lain yang
menceritakan dan percaya bahwa Ular Naga itu memang pernah ada, mereka bukan
sekedar mahluk supranatural, tapi berawal dari seekor ular, -khususnya sejenis
ular Tedung, Sawa, Phiton atau Boa-, yang konon bertapa untuk mendapatkan
mestika yang tumbuh disekitar kepala mereka, hewan-hewan ini bertapa atau tidur
untuk membesarkan badannya, melahap apa yang ada disekitar mereka atau yang
lewat dihadapan mereka. Dikisahkan pula tak jarang mereka melilitkan tubuhnya
pada sebatang pohon yang besar dan rimbun di dalam hutan untuk bertapa. Untuk
menjadi seekor Naga tidak hanya harus membesarkan badan, namun juga harus mampu
bertahan hidup menghadapai ujian akhir, yaitu menangkap batu petir, yaitu
sebuah batu yang dipercaya muncul saat petir menyambar pepohonan besar didalam
hutan, jika tubuhnya kuat, ia akan hidup namun sebaliknya, hikayat Naga itu
hanya sampai disitu.
Dalam budaya Tidung khususnya, Naga
digambarkan cukup kental merembes dalam budaya mereka, gambaran itu
dimanifestasi dalam bentuk seni ukir. Menariknya setidaknya Naga digambarkan
dalam dua bentuk, bentuk pertama dua ekor Naga yang kepalanya berpaling, dalam
bentuk ini gambaran mengenai Naga tersebut lebih berbentuk simbolik dengan
sisik-sisiknya, sedangkan bentuk kedua yaitu dua buah Naga yang saling
berhadapan memperlihatkan wujud Naga berupa ular besar yang saling bersentuhan.
Dimasa lampau, pelaut-pelaut Tidung, konon
mengukir Naga pada lambung-lambung kapal mereka, terkadang diukir penuh dari
kepala hingga ekor, sebagai bentuk kebersamaan mereka dengan mahluk legendaris
itu tapi juga dimaksud untuk menolak maksud-maksud jahat dari mahluk lainnya
dilautan.
Naga Dalam kisah Lama Para Penebang Kayu. Setidaknya
kisah-kisah penampakan mahluk legendaris terdengar di medio tahun 1970 hingga
1980-an, cerita mengenai keberadaan nyata mereka didengungkan oleh sebagian
kecil para penebang kayu. Maklum saja itu masa-masa awal penebangan kayu dan
pembukaan hutan oleh perusahaan. Kisah mengenai ular-ular besar dihutan-hutan
Bulungan memang kerap saya dengar semasa kecil dulu, khususnya dari kakek saya,
almarhum Djamaloeddin Bin Haroen.
Kakek dimasa itu sempat bekerja menjadi
sopir damtruk yang mengangkut pekerja atau tim survai lapangan di perusahaan
kayu, -sebelum pindah dari BPM (Batafche Petroleum Mastchapic) di Tarakan-,
khususnya yang beroperasi disekitar hutan diantara kawasan Bulungan dan Tanah
Tidung, kakek bercerita bahwa hutan-hutan itu memiliki nuansa mistik yang
kental, bukan hanya penuh dengan mahluk-mahluk aneh tapi juga kisah-kisah seram
termasuk mengenai keberadaan ular-ular yang memiliki ukuran yang besar.
(Gambar seekor Naga atau Nabau dalam
sebutan masyarakat Sungai Kajang di daerah Serawak, legenda mengenai keberadaan
mahluk seperti ini juga ada dalam cerita-cerita lisan masyarakat khususnya
dikalangan orang Tidung dan Bulungan).
Kisah-kisah mengenai ular-ular besar itu
umumnya dianggap tabu untuk dikisahkan secara terbuka, khususnya para penebang
kayu seangkatan kakek yang pernah mengalami kejadian bertemu dengan mahluk
tersebut. Para penebang memiliki perasaan yang sungkan untuk mengisahkan
keberadaan Naga-Naga tersebut karena mereka percaya mahluk itu dapat
merasakannya, ular-ular besar itu dipercaya membalasnya dengan menyergap para
penebang dengan bersembunyi dibalik kerimbunan hutan maupun pinggir kawasan
sungai dalam.
Banyak dari mereka tidak ingin berurusan
dengan mahluk tersebut, kakek bahkan tidak menyebut nama “ular” namun
menggunakan perumpamaan seperti istilah “benda itu” atau “barang itu” bahkan
kadang menyebutnya dengan istilah “akar atau pendeng”, sebagai bentuk penghormatan
sekaligus rasa sungkan terhadap keberadaan mahluk tersebut.
Dalam kehidupan sebagian kecil orang di
Bulungan memang ada yang tabu menyebut nama hewan-hewan tertentu dengan nama
aslinya, mereka senang menyebutnya dengan perumpamaan seperti istilah “akar
atau pendeng” untuk ular, “putri” untuk sebutan tikus dan “nenek atau datuk”
untuk menyebut buaya.
Umumnya ada kepercayaan lama dikalangan
orang-orang Bulungan tentang tanda-tanda alam, bila bertemu dengan seekor ular
saat melakukan perjalanan, disarankan untuk mengubah haluan karena dianggap
membawa hal yang kurang baik, para penebang kayu dimasa itu memiliki
kepercayaan biasanya orang-orang yang kepuhunanlah yang bisa bertemu dengan
mahluk tersebut, tentu saja bertemuan seperti itu bukan pertanda yang bagus.
Beberapa kisah penampakan mengenai
keberadaan ular Naga tersebut menjadi kisah tersendiri dikalangan mereka yang
sebenarnya enggan untuk dikisahkan, misalnya tentang sebatang pohon tumbang
yang berukuran sangat besar secara tak sengaja diduduki oleh salah seorang
penebang, bentuknya seperti batang kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi lumut,
iseng-iseng salah seorang dari mereka menancapkan parang, mereka terkejut bukan
buatan karena dari batang kayu tua berlumut itu, tersembur darah segar, tak banyak
pikir para penebang lari pontang-panting dibuatnya.
Kakek pernah bercerita saat ia dan para
penebang kayu melintas jalan hutan atau jalan loging, butuh waktu cukup lama
untuk memberi jalan seekor ular besar yang sedang melintas, keadaannya jadi
serba salah, walaupun truk yang mereka gunakan cukup besar, namun tidak akan
cukup kuat untuk mengusik seekor ular dengan tubuh dua atau tiga kali dari
ukuran normalnya, kalau sudah begini lebih baik biarkan saja benda itu lewat.
Menurut kakek nasib mereka cukup mujur kala itu sebab mereka tidak berpapasan
langsung dengan kepala ular besar tersebut.
(Bentuk Ukiran lain tentang naga yang secara simbolik
digambarkan pada sisik-sisiknya)
Kisah lain yang juga menarik adalah, pada
suatu hari tim survai lapangan sedang melakukan pemetaan dan pengukuran kawasan
hutan yang akan di tebang, mereka menemukan sebatang pokok kayu aneh yang
berdiri, disekitar pokok tersebut ada kayu-kayu yang bertumbangan, bau yang
kurang nyaman terasa dibawa angin, kebetulan tak jauh di depan terdapat semacam
gundukan yang menyerupai sebuah bukit kecil, beberapa orang sempat naik keatas
gundukan bukit yang nampaknya ditumbuhi lumut itu, namun setelah diamati dengan
baik, rupanya seekor ular Sawa berbadan besar sedang bertapa, mau tak mau
survai lapangan hari itu langsung dihentikan, dari kejauhan terlihat batang
pohon tersebut bergoyang seperti dihisap angin, nampaknya ia hidup dengan cara
menghisap apa dan siapa saja yang lewat dihadapannya. Konon begitu pohon
tunggal itu mampu tercabut dari tempatnya, itu artinya sang Naga telah siap
untuk turun ke Sungai.
Banyak kisah-kisah tak lazim mengenai Sang
Naga yang hanya diketahui sebagian orang, Selain itu penampakan yang tak banyak
tersebut makin menambah mitos dan legenda yang menyelubunginya.
Terpulang lagi bagaimana cara kita
menanggapi cerita-cerita lisan yang beredar dimasyarakat kita mengenai hikayat
Sang Naga. Apapun itu tulisan ini hanya dimaksud untuk menambah penghargaan
kita terhadap alam disekitar, bahwa dihutan yang lebat itu, tersimpan banyak
rahasia-rahasia alam yang patut kita jaga dan kita hargai, sekaligus memotret
pandangan masyarakat setempat mengenai hikayat Sang Naga yang bersembunyi
diantara kabut tebal mitos dan legenda.
BAHASA TIDUNG KE MELAYU (KAMUS TIDUNG)
Kata ganti orang:
Saya,
aku = 'Dako'
Kau
= 'Dudu'
Dia
= 'Siye'
Kita
= 'Taka'
Kami
= 'Dame'
Kamu,
engkau = 'Muyu'
mereka
= 'ile'
Kategori Warna:
Merah
= Lia
Putih
= Pulag
Hijau
= Ijou
Kuning
= Silow
Pink
= Kesumbo
Hitam
= Itom
Orange
= Jingga
Kategori Bahagian Tubuh:
Kepala
= Utog
Rambut
= Abuk
Telinga
= Telingo
Hidung
= Adung
Pipi
=Pelingas
Mulut
= Kabang
Leher
= Liog
Perut
= Tinay
Tangan
= Tendulu
Kaki
= Tanog
kuku
= Sandop
Paha
= Apa
Lutut
= Atut
Pinggang
= Awak
Dada
= Kubab
Mata
= Mato
kuku
= sandep
kulit
= Kulit
daging
= Daging
darah
= dada
lemak
= lamektumit tumbit
dahi
= abas
gigi
= ipon
lidah
= jila
susu
= titi
bahu
= likip
jenggot
= jangkut
pantat
= alu
Ubun-ubun
= taub
kelingking
= tengkikis
cambang
= sambang
tunjuk
= telunjuk
telapak
tangan = telapak tendulu
hati
= lengkayau
ulu
hati = pusu
Jari
tangan = Lenggagai tendulu
Kuku
tangan = Lenggagai sandop
empedu
= limpadu
tengkuk
= ipus
pusat
= pusod
Wajah/muka
= Malo
Berikut adalah Kata-kata Bahasa Tidung dalam kategori
"kekerabatan":
Ayah
= Yama
Ibu
= Ina
Nenek
= Yadu
Kakek
= Yaki
Paman
= Yujang
Tante
= Keminan
Adik
= Yadi
Kakak
= Yaka
Keponakan
= Yakon, Menakon
Cucu
= Ingkupu
Saudara
= Pensulod
Nenek
Moyang = Yadu yaki
Ipar
= Yangu
Menantu
= Anak Iwan
Mertua
= Iwan
Sepupu
sekali = Tegande
Sepupu
dua kali = Telenduo
Sepupu
tiga kali - Telentalu
Iparnya
Saudara = Iras
Istri
= Yandu
Suami
= Delaki
Keluarga
= Bubu
MAKANAN TRADISIONAL
nasi subut adalh makanana khas bagi kaum tidung.. makanan ini kaya dengan giki..nasi subut tidak berwarna putih atau merah seperti nasi pada umumnya,, namun nasi subut berwarna ungu.. bahan dasar pembuatan nasi subut adalah menggunakan nasi, ubi jalar yang berwarna ungu dan jagung.. proses tidak terlalu susah.. beberapa masyarakat setempat mengatakan bahawa makanan bahawa ini sudah ada sejak nenek moyang mereka dengan maksud untuk menghindari kelebihan makan nasi..
BAJU TRADISIONAL
Na, cantikkan baju tradisional suku kamu aku ini. Semestinya suku kaum tidung....Bangga
ba aku jadi bangsa tidung... (^_^)
JENIS RUMAH SUKU KAUM TIDUNG
Suku Tidung adalah suku yang mendiami
wilayah utara Kalimantan Utara yang tersebar di Bulungan, Tarakan, Malinau,
Berau, Nunukan, Tana Tidung sampai Sabah di Malaysia. Suku ini semuanya memeluk
Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga dikategorikan sebagai rumpun
asli Melayu, walau kemungkinan terdapat perkerabatan dengan suku Dayak Murut
yang ada di Sabah. Bahkan Kerajaan Tidung sendiri sudah ada sejak tahun 1076
Masehi dan berkedudukan di Tarakan, Kalimantan Utara.
Seperti kerjaan lainnya di Indonesia, suku
Tidung mempunyai arsitektur bangunan yang khas yang mencerminkan kehidupan
keseharian suku Tidung. Rumah adat suku Tidung disebut dengan Baloy Adat
Tidoeng. Baloy Adat ini terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang banyak
ditemukan di daerah Kalimantan. Bangunannya berbentuk rumah panggung dengan
ukiran yangmempunyai kemiripan dengan seni ukir suku Dayak. Di pesisir bagian
Kalimantan bentuk rumah panggung lazim ditemukan, karena biasa didirikan di
dekat pantai atau daerah rawa. Suku Tidung sendiri termasuk suku yang berbudaya
bahari sehingga tak heran jika terdapat perahu di rumah-rumah Tidung untuk alat
transportasi.
Baloy Adat Tidoeng sendiri letak sekitar 1
kilometer dari Bandar Udara Djuwata Tarakan. Tak adanya penunjuk arah menuju
Baloy Adat ini menyulitkan wisatawan yang ingin berwisata ke Baloy, sebab
letaknya sendiri menuju arah luar kota Tarakan.
Tampak dari depan rumah utama Baloy Adat
Tidoeng. Terdiir empat ruang utama dalam rumah ini, yaitu Alad Kait tempat
menerima masyarakat yang mempunyai masalah adat, Lamin Bantong tempat pemuka
adat bersidang untuk memutuskan perkara adat, Ulad Kemagod berfungsi sebagai ruang
berdamai setelah selesainya perkara adat, dan Lamin Dalom sebagai tempat
singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.
Baloy Adat Tidoeng atau Baloy Mayo
Djamaloel Qiram mulai dibangun tahun 2004 silam di lahan seluas 2,5 hektar dan
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan Suku Tidung sekaligus sebagai
tempat tujuan wisata rekreasi .
Disebalah bangunan utama terdapat bangunan
lebih kecil yang berdiri berjajar. Bangunan ini merupakan rumah yang didirikan
untuk sanak famili. Suku Tidung merupakan suku yang mempunyai sistem
kekerabatan yang sangat rapat dan terjaga.
Sedangkan di depan kompleks bangunan Baloy
Adat Tidoeng terdapat bangunan kecil berbentuk rumah dengan dinding yang
berwarna kuning, serta warna khas suku Tidung. Bangunan ini difungsikan sebagai
tempat berkomunikasi dengan leluhur Suku Tidung.
Bagian belakang kompleks rumah Baloy Adat
Tidoeng terdiri dari Lubung Kilong adalah tempat menampilkan kesenian suku
Tidung pada saat acara tertentu , serta Lubung Intamu yaitu tempat pertemuan
masyarakat adat yang lebih besar, seperti pelantikan pemangku adat atau
musyawarah adat
(^_^) nebais kan bayai-bayai tidung.. heeh berTIDUNG
dulu ba kan.. aik, rindu sudah dengan mam dan pap lama nda balik beluran
maklumlha belajarkan berkorbanlah dulu bilang .. bersusah-susah dahulu bersenang-senang
kemudiannn.. ea bukann (^_^)
-SA BANGGA JADI ANAK TIDUNG-
Sekian Dan Terima Kasih..
_Norhamidah Sabran_
No comments:
Post a Comment